Dewan Pers: Wartawan "Amplop" Harus Diberantas



Wartawan Bodrek - Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan oknum "wartawan amplop" yang berasal dari institusi media fiktif harus segera diberantas secepatnya. Sabam mengungkapkan hal tersebut dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Pers di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Rabu (7/11).Menurut Sabam, para pejabat, politisi, dan pengusaha sebagai pemasok amplop untuk wartawan harus segera berhenti melakukan itu. 


"Hanya dengan jalan itu pemberantasan dapat dilakukan secapatnya" kata Sabam. Sabam juga menambahkan, pemberantasan ini dilakukan untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik para wartawan yang berasal dari institusi media profesional yang terbit secara reguler. Selama ini, menurutnya, masyarakat cenderung takut untuk menjadi narasumber dari wartawan profesional karena perilaku wartawan amplop yang kian merajarela. 


"Mereka sering melakukan pemerasan" ujarnya. Pihak pemerintah daerah, dari hasil survey Dewan Pers yang dilakukan di Kalimantan Timur, Papua dan Aceh, juga tak luput dari sasaran wartawan amplop. Menurut Sabam, perilaku mereka sangat berpotensi mengangu kelancaran pembangunan di daerah. 


Selain pemerintah daerah, dinas pemerintahan juga tak luput dari sasaran wartawan amplop. Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pendidikan misalnya, menurut Sabam, menjadi dua sasaran utama wartawan amplop. Antisipasi lain yang dapat dilakukan, ia menyarankan, adalah dengan membentuk organisasi profesi wartawan yang solid. Saat ini, menurutnya, ada 65 organisasi profesi wartawan di Indonesia. Tetapi ketika Dewan Pers mengundang mereka untuk melakukan pendataan, yang hadir hanya 27 organisasi. 


Dari 27 organisasi tersebut, setelah dilakukan verifikasi dengan persyaratan organisasi profesi tersebut minimal harus terdapat di 10 provinsi dan memiliki minimal 5000 anggota, ternyata dari 27 organisasi tersebut, yang lolos verifikasi hanya tiga. Ketiganya adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesi (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 


Pada akhir diskusi tersebut, pihak panitia menginstruksikan para peserta diskusi untuk mengembalikan kartu peserta kepada panitia. Namun, ketika Tempo mengembalikan kartu tersebut, pihak panitia ternyata justru menawarkan amplop berisi uang kepada wartawan yang hadir. Yudho Raharjo

Lebih baru Lebih lama